-->

Senin, 01 Agustus 2011

Teknologi Komunikasi : Sebuah Revolusi



Memasuki abad ke-21, ada suatu kecenderungan yang dihadapi oleh semua bangsa dan negara di dunia, yakni akselerasi teknologi di bidang komunikasi dan informasi. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini meniadakan sekat-sekat (nir-jarak dan nir-waktu) yang membatasi individu yang satu dengan yang lainnya. Ruang dan waktu bukanlah hambatan bagi setiap individu untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Sejumlah ahli menyatakannya sebagai suatu revolusi komunikasi.Dissayanake (1983) memberikan pengertian revolusi komunikasi sebagai ledakan (eksplosi) teknologi komunikasi yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan satelit, mikro-prosesor, komputer, pelayanan radio, dan perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi yang ditempa oleh bidang sosial, ekonomi, politik, kultural, dan gaya hidup manusia. Menurut Schramm (1988) revolusi komunikasi merupakan bagian dari serangkaian perubahan yang berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Jadi revolusi komunikasi adalah salah satu dari sekian revolusi yang terjadi di berbagai bidang, yakni revolusi politik, pensisikan, pertanian dan industri.

Istilah seperti revolusi komunikasi dan revolusi informasi, menurut Marwah Daud Ibrahim (Jurnal ISKI), muncul karena adanya akselerasi eksponensial (begitu cepatnya hingga belum diketahui kapan akan mereda) dari perkembangan teknologi komunikasi dan penemuan media komunikasi yang luar biasa dibandingkan dengan perkembangan komunikasi yang beringsut lambat di awal peradaban manusia jutaan atau ribuan tahun yang lalu.

Berkaitan dengan hal tersebut, Schramm menyatakan bahwa:

“dari bahasa lisan ke tulisan dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya 5 juta tahun. Dari tulisan ke percetakan sebanyak 5000 tahun. Dari percetakan ke media audio visual, fotografi, telepon, rekaman suara, radio, televisi, sekitar 500 tahun. Dari media-visual ke komputer modern kurang dari 50 tahun.”

Selaras dengan Schramm, Frederick Williams (Rakhmat, 1996 : 67) menegaskan bahwa, manusia yang pertama muncul kira-kira 36.000 tahun yang lalu. Diperlukan waktu 12.000 tahun setelah itu untuk menemukan cara melukis pada dinding gua. Kemudian, tidak penemuan teknologi komunikasi selama 18.000 tahun. Pada 1000 SM manusia mengenal abjad untuk pertama kali. Percetakan ditemukan pada 1454 M. Selanjutnya, mulai tahun 1900 M terjadilah runtutan penemuan komunikasi yang menakjubkan. Selama 90 tahun terakhir ini, manusia telah menciptakan teknologi komunikasi yang jauh lebih banyak dari apa yang diciptakan selama 360 abad sebelumnya.

Para ahli lainnya menyebut masa ini dengan berbagai sebutan. G. Lichteim dengan Post-bourgeois, Amitai Etzioni dengan post-modern, Roderick Seidenberg dengan post-historic. Daniel Bell memberikan sebutan post-industrial (Wizard, 1982).

Pendekatan yang digunakan para ahli memang berbeda-beda namun berakhir pada konklusi yang beragam. Semuanya mengakui akan pentingnya peranan teknologi komunikasi dan informasi dalam mempengaruhi dan membentuk masa depan. Apapun namanya, menurut Rakhmat (1996 : 67 – 68), masyarakat yang akan datang ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi.

Dominasi teknologi komunikasi dewasa ini, tidaklah muncul secara tiba-tiba. Teknologi komunikasi muncul secara bertahap dan mulai mengalami percepatan di era 1900an. Bahkan di Milenium ketiga ini, teknologi komunikasi menempatkan dirinya sebagai alat yang selalu hadir dalam setiap kehidupan manusia.

Era Informasi sebagai Revolusi Komunikasi

Staubhaar dan La Rose membagi peradaban menjadi empat, yakni preagriculture, agriculture, industrial dan information. Dalam The Third Wave, Alfin Toffler membagi peradaban dunia ke dalam tiga gelombang; Pertanian, Industrialisasi dan Informasi. Soedjatmoko menjelaskannya sebagai berikut :

Pada gelombang pertama, manusia masih dikuasai atau sangat tergantung dari alam dan karena itu sosiologi agama mencatat bahwa kekuatan sosial yang dominan ialah agama, sedang kekayaan diukur dari lahan atau tanah yang dikuasai dan digarap sebagai tempat bercocok tanam. Para brahmana, ulama dan pendeta mempunyai fungsi dominan dalam struktur dan sistem sosial. Masyarakat awam sangat patuh terhadap pemuka agama karena dianggap mewakili kekuatan supranatural dewa dan atau Tuhan di muka bumi.

Metodologi peperangan pada era gelombang pertanian ialah penguasaan lahan dengan senjata konvensional mulai dari senjata tajam sampai benteng seperti Tembok Besar Cina tujuannya penguasaan teritorial secara fisik dan tradisional. Penguasa politik, kaisar, firaun, raja, sultan, sunan, bahkan kepala suku selalu mengidentikkan diri sebagai wakil Dewa Langit atau Tuhan untuk mengukuhkan legitimasi mereka walaupun dalam praktek mereka menjadi raja melalui kekerasan berdarah menggulingkan tahta pendahulu mereka atau melanjutkan sebagai keturunan penguasa yang sudah mapan. Era ini akan dikenal dengan era personifikasi raja dan penguasa sebagai simbol atau eksistensi negara itu sendiri sebagaimana disemboyankan oleh Louis XIV dengan kata bersayapnya l’ etat cestmoi, negara adalah saya.

Konvensi gelombang pertama ini berlangsung merata di seluruh bumi dan dialami oleh imperium Indian Amerika Latin dari peradaban Inca, Maya dan Aztec, imperium Mesir, Asiria dan Babylonia, imperium Hindu dan imperium Cina, Mongol bahkan sampai imperium Sriwijaya dan Majapahit. Hegemoni agama dan penguasa politik merupakan simbiose Eropa abad pertengahan hingga datangnya era reformasi oleh Martin Luther. Reformasi, Renaissance, menjungkirbalikkan absolutisme agama dan monarki dan mulaimemperkenalkan pluralisme masyarakat. Perubahan di bidang cara berfikir, filsafat, rasionalisme dan pluralisme masyarakat telah menimbulkan iklim subur untuk revolusi di bidang iptek sebagai cikal bakal revolusi industri.

Pada era industrial, maka nation state mulai berperan secara dominan menggeser fungsi agama. Jika di masa pertanian, masyarakat bisa pasif saja menunggu panen, maka pada era industrialisasi, tenaga kerja harus dimobilisasi, dimotivasi, didisiplinkan untuk mengikuti metode dan ritme kerja yang berbeda dari era pertanian. Kekayaan mulai bergeser dari lahan atau tanah menjadi modal atau kapital yang bisa membeli atau membuat mesin dan mendirikan pabrik untuk menghasilkan produk manufaktur dari komoditi pertanian dan pertambangan atau komoditi primer lain yang diberi nilai tambah oleh mesin dan iptek menjadi produk bermanfaat untuk konsumen. Pada era ini, industri manufaktur menjadi hal yang amat sentral.

Negara dan ideologi tampil sebagai organizing principal, walaupun agama dan suku serta ikatan primordial lain masih tetap menggejala karena warisan turun-temurun selama belasan millenium. Sasaran yang ingin dikuasai dalam era ini tidak perlu penguasaan fisik lahan, tapi penguasaan aset industri. Persenjataan modern berupa kapal perang, rudal dan kompleks industri dipakai untuk melindungi dan atau mendukung nation states dalam kompetisi global antar nation states.

Pada gelombang ketiga, yakni era informasi, corporation dan pasar menjadi kekuatan yang menonjol dan naik daun walaupun peranan agama dan negara masih tetap eksis berdampingan tapi keduanya dalam kondisi declining, sedang kekuatan korporasi dan market dalam proses pasang naik.

Produk yang diperebutkan ialah jasa dan informasi, kekayaan diukur dari akses terhadap informasi dan perkantoran menjadi tempat mata pencaharian. Dari kawasan industri atau pabrik ke gedung perkantoran yang mengendalikan pabrik melalui sistem informasi komputer canggih. Metodologi persaingan dan penguasaan juga bergeser, karena tidak perlu lagi menguasai lahan atau aset fisik, melainkan penguasaan persepsi melalui komputer, media, chips dan informasi atau disinformasi. Pada era ini, informasi menjadi hal yang sangat penting dan sentral sebagaimana industri manufaktur pada era industri.

Pada era ini teknologi komunikasi muncul dan berkembang dengan cepat. Seluruh jaringan komputer, elektronika, komunikasi dan informasi bersatu. Pertukaran informasi di antara penduduk dunia berlangsung dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak. Alternatif yang tersedia sangat beragam. Setiap individu memiliki akses terhadap informasi global. Informasi merupakan komoditi utama yang dipertukarkan dan diperjualbelikan.

Kesimpulannya, menurut Toffler (1980), sejarah peradaban manusia dibagi dalam tiga gelombang. Pada gelombang pertama manusia menemukan dan menerapkan teknologi pertanian. Pada gelombang kedua manusia mengembangkan sektor kehidupan dalam bidang industri dan gelombang ketiga manusia mengembangkan teknologi dalam bidang transportasi, komunikasi dan informasi (Alisjahbana, Kompas, 1 Januari 2000). Apabila sumber daya alam pada zaman pertanian dan modal pada zaman industri menjadi sumber kekayaan, maka pada era global dewasa ini, informasilah yang menjadi sumber kekayaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More